Rabu, 08 Juli 2009

Fasal Tentang Bid'ah (bag. 2)

==================================

Baca juga : Fasal Tentang Bid'ah (bag. 1) Baca

==================================


Jelek dan sesat paralel tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya :


وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا (الكهف: 79)

Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi : 79).


Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة .


Selain itu, ada pendapat lain tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan, apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut bid’ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.


Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’ (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.


Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.


Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.


Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi.


Hukum bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: pertama, bid’ah yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman syari’ah.


Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal. Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima, bid’ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang serupa.


Dengan penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.


--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)

Saya kutip dari situs:
http://www.nu.or.id/page.php

Fasal Tetang Bid'ah (bag. 1)

Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, istilah "bid’ah" ini disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti dikutip Hadratusy Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab ‘Uddatul Murid, kata bid’ah secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW,” Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak”. Nabi juga bersabda,”Setiap perkara baru adalah bid’ah”.


Menurut para ulama’, kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena mungkin saja ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan ruh syari’ah atau salah satu cabangnya (furu’).


Bid’ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada sebelumnya, sebagaimana firman Allah S.W.T.:


بَدِيْعُ السَّموتِ وَاْلاَرْضِ

Allah yang menciptakan langit dan bumi”. (Al-Baqarah 2: 117).

Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Timbul suatu pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. pasti jeleknya? Jawaban yang benar, belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bid’ah itu baik dan kapan bid’ah itu jelek? Menurut Imam Syafi’i, sebagai berikut;


اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ

“Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela”.

Sayyidina Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih berjama’ah dengan dua puluh raka’at yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka’ab beliau berkata :


نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هذِهِ

“Sebagus bid’ah itu ialah ini”.

Bolehkah kita mengadakan Bid’ah? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kembali kepada hadits Nabi SAW. yang menjelaskan adanya Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah.


مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا. القائى, ج: 5ص: 76.

Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”.

Apakah yang dimaksud dengan segala bid’ah itu sesat dan segala kesesatan itu masuk neraka?

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ

Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”.

Mari kita pahami menurut Ilmu Balaghah. Setiap benda pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, sifat itu bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk.

Mari kita kembali kepada hadits.

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ

Semua bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka”.

Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan, حدف الصفة على الموصوف “membuang sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka terjadi dua kemungkinan: Kemungkinan pertama :

كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ

“Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.

Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil. Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua :

كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر

“Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”.

--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)


===============================

Baca juga : Fasal Tentang Bid'ah (bag. 2) Baca

===============================

Petikan Dialog tentang bid'ah

Sebelumnya baca dulu:
1. Fasal tentang Bid'ah (bag. 1) Baca
2. Fasal tentang Bid'ah (bag. 2)
Baca

KOMENTAR DAN TANGGAPAN

KOMENTAR

Abu Fauzil
menulis:
Assalamu'alaykum
mungkin terlalu banyak pembahasan dari masing2 saudara2 skalian.. jadi tidak fokus

saya ingin kita kembali menelaah tulisan pak kyai diatas.
1. bukankan haditsnya berbunyi kullu bid'ah dholalah, kullu itu artinya semua tanda terkecuali , sehingga pembagian menjadi wajib, sunnah , mubah, makruh ataupun haram disini tidak tepat dan menimbulkan kerancuan

2. terminologi bidah itu untuk "man amala amilan laisa amruna fahuha raddun" setiap AMAL IBADAH yg bukan dari Rasul TERTOLAK ! disini AMAL IBADAH LHO artinya amalan yg ditujukan kepada Alloh Ta'ala untuk mendapat pahala. Tapi tulisan diatas mengambil contoh : "Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu " Itu khan jelas2 bukan suatu amal ibadah atau menyerupai amal ibadah !!!
3. Bukankah pada sholat lail, puasa itu baik dan mulai, namun pernah pada masa rasulullah ada 3 orang yg datang kepada Rasulullah ingin beramal secara berlebihan : sholat lail terus tanpa tidur, tidak menikah,


Tanggapan:

faisol menulis:
saudaraku ABU FAUZIL yg baik,

Mari kita bahas dalil ttg adanya bid'ah hasanah SESUAI HADITS NABI & PERKATAAN SAHABAT UMAR ra.

Sengaja saya tdk menggunakan pendapat ulama krn saudara2 saya salafi sering berkata, "Ulama bisa salah! Mari kita pahami Islam menurut Rasul, Sahabat & Generasi Salaf (sd 300H)..."

1. Saudaraku, kita sepakat adanya hadits "KULLU bid'atin dhalaalah."

Skrg mari kita bahas MAKNA KULLU... KULLU TDK SELALU BERARTI SETIAP.

Dalam memahami sesuatu, kita harus tahu banyak hal tentang sesuatu itu, baru bisa diambil kesimpulannya => tidak bisa disamaratakan (GEBYAH UYAH)...

Coba sampean artikan dan tafsirkan ayat ini : "wa ja'alnaa minal maa-i kulla syay-in chayyi" (QS al-Anbiyaa' [21]:30)

Apakah menurut sampean tafsirannya adalah "SETIAP sesuatu yang hidup diciptakan dari air"?

BAGAIMANA DENGAN MALAIKAT & JIN...? mohon pencerahannya...


2. Kita tentu SEPAKAT bhw Sahabat Umar ra. SANGAT PAHAM ttg hadits "kullu bid'atin dhalaalah".

Kita jg SEPAKAT bhw beliau pernah berkata, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini (Ni'matil bid'ah haadzihii)."

Bukankah sdh jelas bhw YG BELIAU LAKUKAN ADALAH BID'AH?

Mgkn sampean menjawab, "Yg dimaksud beliau adalah bid'ah scr bahasa/istilah, bukan bid'ah yg dipahami warga NU (bid'ah hasanah)."

Saudaraku, jika memang sampean benar, tolong SAMPEAN TUNJUKKAN pernyataan beliau bhw yg beliau maksud adalah bid'ah scr bhs/istilah. Tdk ada, kan?

Jd, jika sampean masih berkata bhw yg dimaksud beliau adalah bid'ah scr bahasa/istilah => ITU HANYA MENURUT SAMPEAN, bukan menurut beliau.

Mngkn sampean menjawab lg, "Beliau jg tdk pernah berkata bhw yg beliau maksud adalah bid'ah hasanah. Jd, yg dipahami warga NU hanya persepsi belaka, bukan yg dimaksud beliau."

Baiklah kalau begitu. Kita tdk menemukan DALIL NAQLI/pernyataan eksplisit beliau ttg apa yg beliau maksud.


Oleh karena itu, MARI KITA GUNAKAN DALIL AQLI u/ memahami apa yg beliau maksud...

Saudaraku, kita SEPAKAT bhw beliau adalah sosok yg TEGAS, LURUS & TDK PERNAH BASA-BASI DLM BERBICARA, APALAGI ttg URUSAN/HUKUM AGAMA...

Nah, dgn kepribadian, integritas & pemahaman beliau thd hadits, TDK MUNGKIN beliau BERMAIN KATA-KATA YG BISA MENIMBULKAN KONTROVERSI & TANDA TANYA BESAR...

Perlu sampean ingat bhw TDK SEORANG SAHABAT PUN yg menanyakan, mempertanyakan apalagi membantah ucapan beliau...

Jd yg dimaksud beliau adalah BENAR2 BID'AH (BID'AH HASANAH).

Kalau sampean ingin membantah argumentasi saya, saya persilakan... Monggo DISKUSI SCR FAIR & ILMIAH... Saya niati diskusi ini u/ menimba ilmu dr siapa pun, termasuk sampean...

Begitu dulu, saudaraku... Semoga Allah menyatukan & melembutkan hati semua umat Islam, amin...

=================================================================
Dialog di atas saya kutip dari situs :
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8536&category_id=&hal=3

Diskusi di atas sangat menarik bagi saya, karena bahasanya logis, sistematis dan beretika, terus menampilkan sosok yang berilmu.

Kunjungi juga blog:
achmad faisol
http://achmadfaisol.blogspot.com

Template by : kendhin x-template.blogspot.com