Rabu, 08 Juli 2009

Fasal Tentang Bid'ah (bag. 2)

==================================

Baca juga : Fasal Tentang Bid'ah (bag. 1) Baca

==================================


Jelek dan sesat paralel tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya :


وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا (الكهف: 79)

Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi : 79).


Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة .


Selain itu, ada pendapat lain tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan, apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut bid’ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.


Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’ (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.


Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.


Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.


Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi.


Hukum bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: pertama, bid’ah yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman syari’ah.


Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal. Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima, bid’ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang serupa.


Dengan penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.


--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)

Saya kutip dari situs:
http://www.nu.or.id/page.php

Fasal Tetang Bid'ah (bag. 1)

Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, istilah "bid’ah" ini disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti dikutip Hadratusy Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab ‘Uddatul Murid, kata bid’ah secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW,” Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak”. Nabi juga bersabda,”Setiap perkara baru adalah bid’ah”.


Menurut para ulama’, kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena mungkin saja ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan ruh syari’ah atau salah satu cabangnya (furu’).


Bid’ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada sebelumnya, sebagaimana firman Allah S.W.T.:


بَدِيْعُ السَّموتِ وَاْلاَرْضِ

Allah yang menciptakan langit dan bumi”. (Al-Baqarah 2: 117).

Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Timbul suatu pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. pasti jeleknya? Jawaban yang benar, belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bid’ah itu baik dan kapan bid’ah itu jelek? Menurut Imam Syafi’i, sebagai berikut;


اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ

“Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela”.

Sayyidina Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih berjama’ah dengan dua puluh raka’at yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka’ab beliau berkata :


نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هذِهِ

“Sebagus bid’ah itu ialah ini”.

Bolehkah kita mengadakan Bid’ah? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kembali kepada hadits Nabi SAW. yang menjelaskan adanya Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah.


مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا. القائى, ج: 5ص: 76.

Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”.

Apakah yang dimaksud dengan segala bid’ah itu sesat dan segala kesesatan itu masuk neraka?

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ

Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”.

Mari kita pahami menurut Ilmu Balaghah. Setiap benda pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, sifat itu bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk.

Mari kita kembali kepada hadits.

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ

Semua bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka”.

Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan, حدف الصفة على الموصوف “membuang sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka terjadi dua kemungkinan: Kemungkinan pertama :

كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ

“Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.

Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil. Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua :

كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر

“Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”.

--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)


===============================

Baca juga : Fasal Tentang Bid'ah (bag. 2) Baca

===============================

Petikan Dialog tentang bid'ah

Sebelumnya baca dulu:
1. Fasal tentang Bid'ah (bag. 1) Baca
2. Fasal tentang Bid'ah (bag. 2)
Baca

KOMENTAR DAN TANGGAPAN

KOMENTAR

Abu Fauzil
menulis:
Assalamu'alaykum
mungkin terlalu banyak pembahasan dari masing2 saudara2 skalian.. jadi tidak fokus

saya ingin kita kembali menelaah tulisan pak kyai diatas.
1. bukankan haditsnya berbunyi kullu bid'ah dholalah, kullu itu artinya semua tanda terkecuali , sehingga pembagian menjadi wajib, sunnah , mubah, makruh ataupun haram disini tidak tepat dan menimbulkan kerancuan

2. terminologi bidah itu untuk "man amala amilan laisa amruna fahuha raddun" setiap AMAL IBADAH yg bukan dari Rasul TERTOLAK ! disini AMAL IBADAH LHO artinya amalan yg ditujukan kepada Alloh Ta'ala untuk mendapat pahala. Tapi tulisan diatas mengambil contoh : "Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu " Itu khan jelas2 bukan suatu amal ibadah atau menyerupai amal ibadah !!!
3. Bukankah pada sholat lail, puasa itu baik dan mulai, namun pernah pada masa rasulullah ada 3 orang yg datang kepada Rasulullah ingin beramal secara berlebihan : sholat lail terus tanpa tidur, tidak menikah,


Tanggapan:

faisol menulis:
saudaraku ABU FAUZIL yg baik,

Mari kita bahas dalil ttg adanya bid'ah hasanah SESUAI HADITS NABI & PERKATAAN SAHABAT UMAR ra.

Sengaja saya tdk menggunakan pendapat ulama krn saudara2 saya salafi sering berkata, "Ulama bisa salah! Mari kita pahami Islam menurut Rasul, Sahabat & Generasi Salaf (sd 300H)..."

1. Saudaraku, kita sepakat adanya hadits "KULLU bid'atin dhalaalah."

Skrg mari kita bahas MAKNA KULLU... KULLU TDK SELALU BERARTI SETIAP.

Dalam memahami sesuatu, kita harus tahu banyak hal tentang sesuatu itu, baru bisa diambil kesimpulannya => tidak bisa disamaratakan (GEBYAH UYAH)...

Coba sampean artikan dan tafsirkan ayat ini : "wa ja'alnaa minal maa-i kulla syay-in chayyi" (QS al-Anbiyaa' [21]:30)

Apakah menurut sampean tafsirannya adalah "SETIAP sesuatu yang hidup diciptakan dari air"?

BAGAIMANA DENGAN MALAIKAT & JIN...? mohon pencerahannya...


2. Kita tentu SEPAKAT bhw Sahabat Umar ra. SANGAT PAHAM ttg hadits "kullu bid'atin dhalaalah".

Kita jg SEPAKAT bhw beliau pernah berkata, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini (Ni'matil bid'ah haadzihii)."

Bukankah sdh jelas bhw YG BELIAU LAKUKAN ADALAH BID'AH?

Mgkn sampean menjawab, "Yg dimaksud beliau adalah bid'ah scr bahasa/istilah, bukan bid'ah yg dipahami warga NU (bid'ah hasanah)."

Saudaraku, jika memang sampean benar, tolong SAMPEAN TUNJUKKAN pernyataan beliau bhw yg beliau maksud adalah bid'ah scr bhs/istilah. Tdk ada, kan?

Jd, jika sampean masih berkata bhw yg dimaksud beliau adalah bid'ah scr bahasa/istilah => ITU HANYA MENURUT SAMPEAN, bukan menurut beliau.

Mngkn sampean menjawab lg, "Beliau jg tdk pernah berkata bhw yg beliau maksud adalah bid'ah hasanah. Jd, yg dipahami warga NU hanya persepsi belaka, bukan yg dimaksud beliau."

Baiklah kalau begitu. Kita tdk menemukan DALIL NAQLI/pernyataan eksplisit beliau ttg apa yg beliau maksud.


Oleh karena itu, MARI KITA GUNAKAN DALIL AQLI u/ memahami apa yg beliau maksud...

Saudaraku, kita SEPAKAT bhw beliau adalah sosok yg TEGAS, LURUS & TDK PERNAH BASA-BASI DLM BERBICARA, APALAGI ttg URUSAN/HUKUM AGAMA...

Nah, dgn kepribadian, integritas & pemahaman beliau thd hadits, TDK MUNGKIN beliau BERMAIN KATA-KATA YG BISA MENIMBULKAN KONTROVERSI & TANDA TANYA BESAR...

Perlu sampean ingat bhw TDK SEORANG SAHABAT PUN yg menanyakan, mempertanyakan apalagi membantah ucapan beliau...

Jd yg dimaksud beliau adalah BENAR2 BID'AH (BID'AH HASANAH).

Kalau sampean ingin membantah argumentasi saya, saya persilakan... Monggo DISKUSI SCR FAIR & ILMIAH... Saya niati diskusi ini u/ menimba ilmu dr siapa pun, termasuk sampean...

Begitu dulu, saudaraku... Semoga Allah menyatukan & melembutkan hati semua umat Islam, amin...

=================================================================
Dialog di atas saya kutip dari situs :
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8536&category_id=&hal=3

Diskusi di atas sangat menarik bagi saya, karena bahasanya logis, sistematis dan beretika, terus menampilkan sosok yang berilmu.

Kunjungi juga blog:
achmad faisol
http://achmadfaisol.blogspot.com

Menjaga Pandangan

“Ma min muslimin yandhuru ila mahasini imroatin tsumma yaghudldlu bashorohu illa ahklafallahu lahu ‘ibadatan yajidu halawataha”

Tiada ganjaran bagi seorang muslim yang melihat keindahan (tubuh) dari seorang wanita yang kemudian ia mampu menundukkan pandangannya (segera memalingkan pandangannya), melainkan Allah akan menggantinya dengan ‘ibadah yang dapat ia rasakan manisnya ‘ibadah itu.

Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang saya ambil dari kitab Rowai’ul Bayan Tafsir Ayat Ahkam yang dikarang oleh Syeikh Muhammad Ali As Shobuni salah seorang Ahli Tafsir lulusan Al Azhar University Mesir yang telah diakui keadalaman ilmunya.

Penjelasan kitab itu saya pelajari dari Ustadz Abdullah Azam Gresik, Salah satu guru agama saya di Gresik.
Beliau menjelaskan bahwa jika seorang muslim ingin merasakan nikmat dan manisnya ibadah kepada Allah SWT, maka ia harus berusaha untuk tidak memandang aurat perempuan atau lebih umunya lawan jenisnya.

Manisnya ibadah itu seperti apa? Jika seseorang merasa dekat dengan Allah, ketika sholat ia dapat khusu’ (selalu ingat Allah selama sholat), lidahnya senang untuk berdzikir, ketika waktu sholat tiba maka ringan tubuhnya untuk melangkah ke masjid/musholla untuk sholat berjama’ah, lidahnya senang untuk membaca Al Qur’an, ringan tangan untuk berinfaq, wajahnya berseri-seri penuh optimis akan kesuksesan karena merasa dekat dengan Allah, tidak ada pamrih sedikitpun kepada manusia ketika beribadah dan beramal, maka itu adalah sebagian tanda-tanda orang itu merasakan manisnya ‘ibadah.

MAU…?


Marilah kita berusaha untuk memperoleh manisnya ibadah mulai sekarang, tidak untuk muslim laki-laki saja, tetapi juga untuk para muslimah, memang haditsnya memakai kata muslim (muslim laki-laki), tetapi penerapannya juga untuk muslimah, karena pada kenyataannya aurat laki-laki juga keindahan bagi kaum hawa.

Jadi Orang Baik (bag. 1)

“Jika Allah hendak menjadikan seseorang menjadi baik, maka gembok (kunci) hatinya dibuka oleh Allah, dan menjadikan keyakinan (kepada Allah) dan kebenaran dalam hati itu, dan menjadikan hatinya mudah memahami ilmu yang sampai kepadanya, menjadikan hatinya sehat, lisannya jujur dan tindakan-tindakannya menjadi lurus, telinganya mudah mendengar kebenaran (nasihat) serta menjadikan mata hatinya mudah melihat”.

Itulah terjemahan hadits Nabi SAW yang diriwaatkan Imam Bukhori dari Abu Dzar dalam kitab Mukhtarul Ahadits No. 60 Hal. 10, yang saya nukil dari penjelasan Ustadz Marzuki Mustamar (dianjurkan baca bahasa arabnya).

Beliau menjelaskan yang termasuk gembok hati antara lain:
1.Penyakit Hati seperti : dengki, iri hati, dendam, dan lain-lain.
Maka ketika Allah hendak menjadikan seserang menajdi orang yang baik, maka Allah akan menghilangkan penyakit-penyakit hati tersebut. Tentunya harus juga ada ikhtiar dari orang tersebut, dia harus juga berusaha untuk menghilangkan penyakit hatinya.

Ia harus berusaha menjadi orang yang tidak mendendam, iri hati, dengki dan sebagainya, bukan tidak mau berusaha untuk mengubah dirinya.
Ustadz mengibaratkan hidayah Allah itu seperti sinar matahari atau cahaya lampu. Maka seseorang akan merasa terang jika sinar matahari tersebut ada dan orang itu membuka matanya. Hidayah itu akan mampu menerangi hati jika pintu hati itu dibuka.

Jika sinar matahari ada tetapi seseorang itu tidak membuka matanya (merem), maka ia tidak akan merasa terang. Maksudnya, jika Allah hendak memberi hidayah kepada seseorang tetapi orang itu tidak mau membuka hatinya maka ia tidak akan mendapatkan hidayah. Atau sebaliknya jika seseorang membuka matanya (melek) tetapi sinar matahari tidak ada, maka ia juga tidak akan merasa terang. Maksudnya, jika Allah tidak berkehendak memberi hidayah, walaupun seseorang itu membuka pintu hatinya lebar-lebar tetapi Allah tidak berkehendak memberi hidayah, menghilangkan penyakit hati maka orang itu tetap tidak akan mendapat hidayah.

Tentunya yang terbaik bagi kita adalah kita tetap membuka pintu hati kita lebar-lebar, berusaha untuk menghilangkan penyakit hati kita, berusaha untuk menjadi baik, dengan dibarengi do’a yang terus menerus tanpa putus asa kepada Allah, sehingga ketika Allah hendak memberi hidayah kepada kita, maka hidayah itu akan dapat masuk ke dalam hati kita.


2.Menganggap orang lain salah (sombong).
Dalam hal ini menganggap pendapat orang lain salah, menganggap ajaran orang lain salah, menganggap amalan orang lain salah, mengaggap pemahaman orang lain salah, yang benar hanya ajaran kita, pendapat kita, amalan kita.

Padahal belum tentu orang lain yang kita anggap salah itu benar-benar salah, padahal belum tentu kita lebih benar dari orang lain, karena kita tidak benar-benar tahu apakah kita itu yang paling benar.
Yang paling benar dan mutlak benarnya hanya Allah SWT, yang lain itu tidak ada yang pasti benar.

Keyakinan kalau kita benar itu boleh, tetapi menganggap orang lain salah semua, yang benar hanya kita itu sangat tidak boleh, karena berarti kita memutlakkan sifat benar bagi kita, dan itu berarti kita sombong dan merampas kebenaran Allah.
Yang pantas bagi kita adalah, kita yakin tentang kebenaran pendapat kita, tapi jika ada pendapat orang lain yang berbeda dengan kita, maka kita harus toleran dan tidak menyalahkannya, karena boleh jadi ia yang lebih benar.

Maka dari situ, bagi pembaca blog ini, yang mengikuti ajaran dan senagnya nyalah-nyalahin pendapatnya orang, yang seneng bilang pendapat orang lain bid’ah, berhentilah membid’ah-bid’ahkan orang lain, karena bida’ah yang paling bid’ah adalah orang yang seneng membid’ahkan amalan orang lain.

3.Gembok Hati yang ketiga, Orang bodoh (tidak ngerti hukum) yang terlanjur salah paham

Misalnya, orang yang tidak ngerti cara sujud dalam solat yang benar, terus diingatkan, tapi ia malah menjawab “lha bapak saya, mbah saya sujudnya juga kayak gitu kok”. Nah itu contoh orang bodoh yang salah paham, seperti kaum jahiliyah dahulu. Mereka ngerti kalau Nabi Muhammad itu benar, mereka ngerti kalau Al-Qur’an itu wahyu, tetapi mereka mengatakan “beginilah adanya nenek moyang kami”.

Mari berdzikir!

Laa Ilaaha Illallahu Wahdahu Laa Syarika lah
Lahul Mulku Wa lahul hamdu
Wa huwa ‘Ala Kulli Syaiin Qodir


Barangsiapa membaca Dzikir di atas 10 kali dalam sehari, maka ganjarannya seperti orang yang memerdekakan empat orang budak.
Lihat hadits Nabi SAW riwayat Imam Bukhori (hal. 6404) dan Imam Muslim (2693)

Barangsiapa membaca dzikir di atas 100 kali dalam sehari, maka ganjarannya seperti orang yang memerdekakan 10 orang budak, ditulis baginya 100 kebaikan, dihapuskan darinya 100 kejelekan, dan dijaga oleh Allah dari godaan syetan pada hari itu sampai sore hari, dan tidak ada orang yang melakukan amalan yang lebih utama darinya kecuali orang yang membaca dzikir itu lebih banyak.
Lihat hadits Nabi SAW riwayat Imam Bukhori (hal. 6403) dan Imam Muslim (2691)

Penjelasan hadits di atas saya nukil dari penjelasan Ustadz Marzuki Mustamar dan tercantum dalam kitab karangan beliau “Al Muqtathifaat Liahlil Bidayaat” hal. 13

Keutamaan Membaca Al Qur’an

“Sami’tu Rasulallahi Sholla Allahu ‘Alaihi Wa sallama yaqulu : Iqra’ul Qur’ana Fainnahu Ya’ti Yaumal Qiyamati Syafi’an Li ashhabihi”

Semua ulama Ahlus Sunnah bersepakat bahwa seseorang masuk ke surga itu bukan karena amalnya, melainkan karena rahmat dari Allah SWT.
Rahmat Allah datang ada kalanya karena Syafa’at dari Rasulullah SAW dan juga dari Al Qur’an.

Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Muslim yang saya kutip dari kitab
“Al Muqtathifaat Liahlil Bidayaat” karangan Ustadz Marzuqi Mustamar hal. 3.
Sanadnya adalah Abu Umamah ra.

Beliau menjelaskan bahwa Rasulullah memeritahkan umatnya untuk membaca
Al Qur’an karena Al Qur’an yang telah kita baca itu nanti akan menjadi syafa’at bagi kia di hari Qiyamat.

Membaca dalam hal ini tidak harus mengerti maknanya, walaupun tanpa mengerti maknanya pun kita sudah mendapat pahala jika kita membacanya. Karena perintah dalam hadits di atas adalah membaca, bukan memahami maknanya.

Memang ada yang berpendapat bahwa membaca Al Qur’an saja tanpa memahami arti atau maknanya adalah percuma. Boleh saja berpendapat seperti itu. Yang penting kita berjalan pada jalur pendapat masing-masing tanpa harus saling bersinggungan.

Yang jelas jika harus memahami maknanya baru membaca Al Qur’an itu tidak percuma, maka justru Al Qur’an diturunkan menjadi kurang maslahat bagi kaum awam seperti saya dan mayoritas bani Adam, karena mayoritas manusia tidak mempunyai keahlian untuk mengartikan Al Qur’an. Padahal Al Qur’an diturunkan adalah untuk kemaslahatan umatnya, bagi Ahli Fiqih maslahat, bagi Ahli Tafsir maslahat, bagi guru/pengajar Al Qur’an maslahat dan bagi orang awam yang hanya bisa sedikit membaca tulisan arab pun maslahat.

Selasa, 07 Juli 2009

Ciri-ciri Orang Munafik

Selama ini banyak dari kita mengetahui, bahwa ciri-ciri atau tanda-tanda orang munfaiq itu ada tiga macam, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya,

Aaytul munfiqi tsalatsah : idza hadatsa kadzaba, wa idza wa'ada akhlafa, wa idza 'tumina
khona.

atawa : tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga, apabila berkata ia suka dusta, apabila berjanji ia suka ingkar dan apabila diberi kepercayaan ia suka berkhianat.

Nah itu juga yang selama ini saya pegangi dan hanya itu sih yang aku masukkan dalam main idea tentang tanda-tanda orang munafiq.
Ternyata tanda-tanda orang munafiq itu banyak banget, buat yang belum ngerti ni aku coba jelasin hasil dari menukil penjelasannya Ustadz Marzuki Mustamar Malang bahwa di dalam
Al Qur'an itu banyak banget tanda-tanda orang munafiq, antara lain:
1. Kalau sholat Malas
2. Kalau diminta berjuang di jalan Allah, mbulet n banyak alasan
3. Nggak mau berinfaq
4. Memanfaatkan agama untuk kepentingan pribadi
5. Tidak peduli dengan sesama muslim (tidak loyal)
6. Kalau ada masalah tdak menyelesaikan masalah, tetapi malah bikin ruwet (provokator)

Nah tuh, hasil nyimak saya ketika ngai kitab di Ust. Marzuki.
Kayaknya yang no. 1 gak usah saya jelasin ya....! dipikir aja sendiri-sendiri, termasuk orang yang males sholat nggak?
Nah yang no. 2, salah satu contohnya kalo misal ada pembangunan masjid n diminta gotong royong, biasanya orang munafiq tuh ada aja alasannya biar gak ikutan gotong royong, mulai sakit perut lah, kepala pusing, ato sengaja pura-pura keluar bawa sepeda bilangnya ada janjian dengan teman, padahal nggak, nah klo ada orang kayak gitu, tuh sudah jelas orang itu ketularan pnyakit menularnya orang munafiq.

yang no. 3 tuh orang gila harta n nggak mikir kemajuan agamanya.

yang no. 4 itu orang kurang ajar kalo saya bilang, masak agama dimanfaatin untuk kepentingan dirinya. Kalo saya boleh berpikir ekstrim ya, maka saya akan ngasih contoh, orang yang mengkomersilkan ilmu agama yang dipunyainya, yang seharusnya wajib ia amalkan tanpa harus meminta imbalan. contoh rukun islam, rukun iman, ilmunya sholat, n ilmu-ilmu dasar islam yang lain.
Mestinya tanpa dikomersilkan dan dipromosikan, kalo kita termasuk orang yang ngerti ilmu semacam itu, n kita mengetahui masih banyak masyarakat awam yang masih perlu dididik tentang imu itu, maka kita wajib mengamalkannya secara gratis.
Tetapi sekarang yang terjadi malah memanfaatkan kondisi umat yang belum ngerti n jumlahnya banyak, dimnfaatin untuk bikin pelatihan macem-macem dan harganya mahal karena kemasannya dibuat menarik. Mana mungkin orang semacam itu termasuk orang yang ikhlas? malah termasuk kategori orang munafiq bisa-bisa, karena memanfaatkan agama untuk kepentingan ekonominya.
Contoh lagi, kemarin waktu banyak orang nyari kerjaan di legislatif, karena mau nyalon jadi caleg, maka ia aktif di berbagai jama'ah dzikir, yasinan, tahlil, istighotsah, dll. rajin sholat, seneng nyumbang anak yatim, nyantuni fakir miskin, biar dipilih jadi caleg. Setelah sudah jadi caleg, jadi lupa semuanya, itu orang munafiq tulen.

kalo yang no. 5, contohnya : misal di Idonesia atau di luar negeri lah, ketika orang-orang muslim didlomi, dibantai oleh orang yahudi, terus kok ada orang bilang gak ngurus itu urusan mereka, bukan urusan kita, pokoknya intinya dalam hatinya tak ada sedikit pun rasa iba atau solidaritas, tidak mendo'akan dll, maka orang itu sukses terjangkit virus munafiq.
Contoh lain penguasa, kalo ada umat islam dianiyaya sementara penguasa itu diam saja, gak mau tau, maka penguasa semacam itu minta diculik n dinasehati, kalo tetep gak mempan dibuang saja ke laut, biar dimakan hiu.

yang nomer 6. PR ya......! he...9x.

Template by : kendhin x-template.blogspot.com